CINTAKU
BERKAWAN MERAPI
Aku
masih ingat jelas hari itu. Hari dimana aku harus kehilangan
seseorang yang telah membawa separuh dari hidupku. Dan kini tepat 2
tahun kepergiannya. Aku masih begitu mengenangnya. Senyumnya,
tingkahnya, bahkan setiap bait ucapannya yang selalu bisa menenangkan
hatiku.
Aku
Metaliana Putri, akrab disapa Meta. Saat ini aku sedang menempuh
pasca sarjana di salah satu perguruan tinggi swasta di kotaku. Dan
dia adalah Reza Saputra, sosok yang selalu bisa membuatku nyaman saat
ada disampingnya. Tapi mungkin dia lebih nyaman di tempatnya saat
ini, tempat dimana Ia merasa lebih dekat dengan Tuhannya. Aku tahu
persis itu.
***
21
Desember 2010
Ku
lihat dia cukup sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Hari ini
kampus kami akan mengirim beberapa relawan untuk membantu korban
bencana meletusnya gunung merapi. Sekilas tampak keletihan di
wajahnya, tapi aku tahu dia. Dia tidak akan berhenti, hingga Ia
menyelesaikan tanggung jawab yang dibebankan padanya.
Sepertinya dia baru menyadari kehadiranku, Setelah segala sesuatunya
selesai. Tampak ia tergesa – gesa menghampiriku. Ku serahkan
sebotol minuman yang memang kusiapkan untuknya
“Sudah
selesai semua Mas?” tanyaku
“Sudah
kok Dik, tinggal berangkat saja” jawabnya tanpa memperhatikanku
“Mas
beneran berangkat juga?” ragu – ragu aku berkata seperti itu
“Iya
dong, masak ketua panitia nggak ikut berangkat?” jawabnya terlihat
mantap
“Tapi
Mas....” belum sempat aku meneruskan ucapanku
“Aku
akan baik – baik aja kok Dik, Kamu percaya sama Aku kan?”
jawabnya seolah ingin meyakinkanku.
“Iya”
hanya kata itu yang terucap
Selalu
saja ada penyesalan. Kenapa dulu aku begitu mempercayainya? Begitu
yakin bahwa dia benar – benar akan baik – baik saja seperti apa
yang dia katakan padaku. Hingga aku harus kehilangan semuanya.
Ku
lirik arlojiku. Tepat pukul 10.00 kendaraan yang dia tumpangi
perlahan pergi. Hanya ada lambaian tanganku yang mengiringi
kepergiannya. Ku hembuskan nafasku pelan, mencoba menenangkan hatiku
yang seolah tak rela akan kepergiannya. Lama aku terdiam dalam
lamunanku. Hingga suara keras klakson mobil menyadarkanku.
“
Ikut yuk!” ajak Rena, sahabatku.
“
Kemana?” tanyaku
“
Jadi relawan buat gunung merapi?” ucapnya penuh makna
“Maksudnya?”
tanyaku tak mengerti
“Ayo
dong Meta.. mana tega aku melihatmu kehilangan kakanda tercintamu
itu” jelasnya nyengir. Aku mulai mengerti maksudnya. Tapi masih ada
keraguan untuk mengikutinya. Peraturan untuk menjadi relawan adalah
mereka yang sudah menempuh semester akhir. Sementara aku? Semester 5
pun, belum ku selesaikan.
“Ayo,
mikir apa lagi? Nanti kalo dia di ambil sama pengungsi merapi kamu
nangis – nangis” ajaknya setengah mengejek.
Tanpa
berpikir panjang, akupun naik ke mobil Rena.
“Tapi
mampir ke rumah dulu ya! Ijin mama sama ambil baju”
“Siap
tuan putri”
Kurasa
dia suka memanggilku seperti itu. Sahabatku yang satu ini memang
selalu tahu isi hatiku. Ku pikir hanya dia orang yang selalu siap
sedia mendengar cerita bahkan tangisku saat aku bertengkar dengan
Reza.
Akhirnya,
izinpun ku dapat. Dengan sedikit paksaan dan rayuan, hati mama
akhirnya luluh juga. Ku siapkan baju ganti juga perlengkapan yang
lainnya dan yang paling penting adalah obat – obatan.
Sore
itu juga, aku bersama Rena langsung berangkat menuju pos pengungsian
dimana Mahasiswa dari kampus kami menjadi relawan. Bayangan untuk
tetap bisa bersama Reza seketika musnah saat aku melihat situasi
disana. Menyedihkan, rumah – rumah tertutup abu. Anak – anak
dengan jerit tangis mereka, bahkan ibu – ibu yang kulihat masih
menampakkan ketegaran mereka. Hatiku serasa luluh, tanpa terasa air
mata inipun menetes.
“Dik,
ngapain kamu disini?” kurasakan tangan menepuk pundakku. Ku
balikkan badanku, tampak sosok yang begitu ku kenal dibalik balutan
kaos relawan berwarna biru lengkap dengan masker munutup hidung dan
mulutnya.
“Eh
Mas, aku pingin bantuin kamu disini” jawabku sekenanya
“Tapi
Dik, disini itu bahaya” suaranya terlihat panik
“Aku
akan baik – baik aja kok Mas, Kamu percaya sama Aku kan?” jawabku
meniru kata – katanya. Diapun tersenyum.
“Kalo
gitu, Kamu bantu Adik – adiknya yang ada disini ya! Buat mereka
ceria, biar punya senyum semanis senyum kamu” ucapnya dengan
senyuman yang khas
“Tapi
Mas, Kamu?”
“Aku
mau bantuin TIM SAR nyari korban yang masih belum ditemukan”
jawabnya kemudian pergi.
Aku
dan Rena masuk ke pos pengungsian. Masih tampak jelas rasa takut di
wajah anak – anak korban merapi ini. Ku hampiri salah satu dari
mereka.
“Adik
namanya siapa?” tanyaku
“Ahmad”
jawabnya singkat
“Ayah
ibunya mana?” tanyaku kemudian. Dia hanya diam, tampak tatapannya
kosong. Kemudian ia menatapku, dia menunjuk ke arah gunung merapi
yang tampak masih mengepulkan asap. Ku sadari kesalahanku menanyakan
hal itu. Ku tatap Ahmad yang hanya tertunduk. Ku sadari beban yang
kini ia pendam.
“Ahmad
mau main?” tanyaku dengan tersenyum
Ahmad
tak menjawab dan hanya menatapku. Kutarik tangannya keluar. Ku gambar
kotak – kotak seperti aku kecil dulu untuk bermain engklek.
“Ahmad
pernah main ini kan?” tanyaku yang hanya dibalas dengan anggukan.
Aku memulai permainan itu, selalu kusunggingkan senyum di pipiku
berharab hal sama akan dilakukan Ahmad. Lama kami bermain, tampak
senyum mulai ku lihat di wajahnya. Sepertinya tawa kami menarik anak
– anak yang lain untuk ikut bermain. Saat mereka semua bisa tertawa
lepas, saat itulah ku rasa kebahagiaan di hatiku.
Tanpa
ku sadari hari mulai berganti petang. Permainanpun ku hentikan. Ku
ajak mereka membersihkan diri untuk sembahyang. Dari kejauhan tampak
Reza sedang memperhatikanku. Ku hampiri dia.
“Makasih
ya Dik” ucapnya
“Buat
apa?” tanyaku
“Buat
senyum mereka” ku tatap lekat – lekat sosok di depanku itu.
Tampak kebahagiaan di matanya.
“Bahagia
ya bisa buat orang lain bahagia?” ucapku kemudian
“Iya,
ku pikir memang senyum kamu itu bisa buat orang lain bahagia dimana
saja” aku menatapnya, tawa kami pun lepas. Tanpa ku sadari bahwa
itu tawa terakhirku bersamanya.
Adzan
berkumandang, maghrib tiba. Ku ajak anak – anak di pengungsian
solat bersama. Haru biru kurasa, saat anak – anak mengucap doa
untuk orang tua mereka yang tak tahu entah dimana. Tangiskupun pecah,
bagaimana bisa anak sekecil mereka mampu setegar ini menghadapi
cobaan hidup.
***
22
Desember 2010
Ku
langkahkan kakiku menuju tenda relawan tempat Reza bermalam. Pagi ini
memang terasa dingin. Ku bawa secangkir kopi yang baru kuseduh
bersama Rena untuk Reza. Tampak kesibukan di tenda kecil itu, namun
tak ku temui sosok yang kucari.
“Mas
Reza mana wan?” tanyaku pada salah seorang yang ada disana
“Eh,
anu Met.. tadi pagi – pagi dia langsung ke lokasi, soalnya TIM SAR
banyak nemu korban yang tertimbun, jadi dia langsung bantu – bantu
disana” jelasnya
“Oh,
ya udah makasih ya Wan” ucapku seraya pergi
Ku
tatap gunung merapi yang masih terus bergemuruh, yang mungkin akan
kembali erupsi kapan saja. Bahkan saat Reza masih disana. Tiba –
tiba rasa takut itu kembali muncul. Aku terdiam, sampai ku rasakan
pegangan tangan kecil lembut yang begitu hangat. Aku tertunduk. Ku
dapati Ahmad yang menggenggam tanganku erat.
“Mbak,
tenang saja! Merapi nggak akan marah sama masnya mbak, masnya pasti
akan baik – baik saja, masnya kan orang baik” mendengar ucapan
itu, tangiskupun pecah. Ku dekap erat – erat Ahmad. Anak kecil yang
telah mengajariku arti bersyukur.
Matahari
mulai terik, aku terus saja menyibukkan diri dengan anak – anak di
pengungsian. Namun, sepertinya matahari yang terik itu membuat anak –
anak kelelahan. Satu persatu dari mereka terlihat mulai pergi untuk
tidur. Siang itu memang berbeda, panas yang tidak seperti biasanya.
Setelah
ku tidurkan anak – anak di pengungsian. Ku langkahkan kaki kembali
ke tenda relawan. Masih seperti tadi pagi, sosok itu tak ada di
tempatnya. Rasa kesal bercampur khawatir tiba – tiba kurasakan
kembali. Ku hembuskan nafasku. Aku berjalan meninggalkan pos
pengungsian.
Tanpa
kusadari langkah kakiku sudah terlalu jauh. Hatiku kembali miris
melihat akibat dari erupsi merapi yang terjadi beberapa waktu lalu.
Teringat saat aku berlibur bersama Reza disini. Sawah hijau, tumbuh –
tumbuhan, penduduk yang begitu ramah. Dan kini semuanya berganti
dengan abu. Hanya ada abu sejauh mataku memandang.
Kembali
ku dengar gemuruh keras dari merapi, aku mulai ketakutan. Baru ku
sadari langkah kakiku yang sudah sangat jauh.
“Mas
Reza!”
“Rena!”
teriakku bergantian
Hingga
kurasa pijakan kakiku mulai bergetar, rasa takutku semakin menjadi.
Dan yang kurasa tiba – tiba gelap.
***
Januari
2011
Entah
berapa lama aku tertidur. Yang kurasakan sakit di bagian kakiku. Ku
tatap ruang itu, putih. Sampai kusadari tempat itu adalah rumah
sakit. Ku tatap mama yang tidur di sofa yang ada di samping ranjang.
Ku tatap wanita itu lekat – lekat, matanya tampak basah. Mungkin
habis menangis, pikirku saat itu.
“Ma...”
ucapku lirih
Perlahan
mama membuka matanya, tampak binar – binar bahagia di matanya saat
melihatku.
“Meta,
udah bangun kamu sayang?” ucapnya disertai tangisan.
Dengan
terburu – buru mama memanggil dokter. Setelah dokter memeriksaku,
mama tak henti – hentinya memelukku. Aku masih tak mengerti apa
yang sebenarnya terjadi.
“Aku
kenapa ma?” tanyaku
“Mama
bahagia kamu sadar sayang, kamu udah nggak sadarkan diri 1 minggu”
jelas mama dalam tangisnya. Entahlah, aku hanya bahagia ada dipeluk
wanita yang begitu menyayangiku itu.
Satu
minggu membosankan yang kulewati di rumah sakit, akan segera
berakhir. Kurasakan kakiku yang dulu nyeri sudah mulai membaik. Mama
dan Renapun tak pernah berhenti menemaniku. Hanya kurasa selalu ada
yang kurang, Reza. Aku tak pernah melihatnya dari saat aku tertawa
bersama di pos pengungsian dulu.
“Ren,
mas Reza mana sih? Nggak pernah keliatan” tanyaku pada Rena.
Rena
hanya terdiam, tertunduk yang tak ku tahu apa maksud sikapnya itu.
“Rena,
kamu baik – baik saja kan? Kok diem aja?” aku kembali bertanya
“Nanti
kamu juga tahu sendiri Met, mas Reza kemana” ucapnya tanpa
menatapku
Ku
dapati rumah yang nampak sepi, mungkin karna di tinggal beberapa hari
oleh sang empunya. Ku rebahkan tubuhku di kasur yang begitu
kurindukan. Aku mencoba kembali menerawang, apa yang sebenarnya
terjadi.
“Ren,
dari tadi kamu aku tanya nggak jawab, mas Reza kemana sih Ren?”
tanyaku
“Kamu
yakin mau tau Met?” jawaban itu terdengar begitu aneh. Rena
beranjak, meraih tasnya, ia keluarkan sepucuk surat dari tasnya itu.
“Kamu
baca Met, biar Reza sendiri yang bilang”
Ku
buka kertas itu pelan. Tulisan yang tak begitu rapi, Tidak seperti
tulisan Reza yang biasanya.
Tak
ku tahu pasti apa yang kurasakan saat itu. Yang ku tahu, hatiku
serasa begitu sesak, hingga aku tak bisa menahannya. Ku tatap Rena
yang hanya diam disampingku,
“Kenapa
Ren?” tanyaku di tengah tangis yang semakin menjadi
“Reza
nolongin kamu waktu kamu hampir kejatuhan pohon pas erupsi merapi
kedua Met” ku dengar suaranya mulau parau
“Dimana
Ren? Dia dimana?” Aku mencoba berdiri. Linu di kakiku sudah tidak
ku hiraukan lagi. Ku langkahkan kakiku cepat. Aku hanya ingin bertemu
Reza. Untuk terakhir kalinya.
***
Dan
kini, aku kembali bersamanya. Aku tahu dia selalu tersenyum
menatapku. Bahkan sampai saat ini aku tak pernah menyesali
kepergiannya. Karna aku tak pernah membuat syarat untuknya, syarat
untuk selalu bersamaku bahkan untuk sekedar mengingatku. Aku hanya
akan melakukan yang terbaik untuk hidupku. Untuknya yang telah
merelakan hidupnya untuk jiwaku.
***
Siang
ini terasa berbeda, angin sepoi – sepoi yang berhembus seolah turut
berusaha untuk menguatkanku. Ku tatap merapi yang tampak begitu
perkasa itu.
“Kamu
inget Reza ya?” suara Rena itu tiba – tiba mengagetkanku
“Nggak
kok Ren, aku cuma mikir aja. Merapi ini yang udah jadi saksi perasaan
yang begitu tulus dua insan manusia” ucapku tersenyum
Yang
kurasakan kemudian, hanya ada dekapan Rena yang begitu hangat
memelukku.