Anthocyanin sebagai Pewarna Alami Makanan
(Anthocyanin as Natural Food Dyes)
Zuni Dihliziah
Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Jember
Jln. Kalimantan 37, Jember 68121
E-mail: adh_liz@yahoo.com

Abstrak
Penggunaan pewarna sintesis dalam industri makanan dunia semakin merajalela. Seiring berkembangnya waktu, kesadaran
masyarakat dunia akan bahaya yang dapat ditimbulkan oleh pewarna sintesis ini membawa perubahan dalam penggunaan
pewarna makanan itu sendiri. Beberapa tahun terakhir penggunaan pewarna alami dalam menggantikan pewarna sintesis semakin
memperlihatkan peningkatan yang signifikan. Bab ini akan membahas tentang penggunaan anthocyanin dan semua turunannya
sebagai pewarna alami dalam industri makanan. Pentingnya warna dalam menarik konsumen yang dibarengi dengan kesadaran
konsumen terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan oleh pewarna sintesis menjadikan pewarna alami semakin dilirik
keberadaannya. Pigmen dari anthocyanin yang memiliki berbagai warna yang menarik membuat bahan ini dilirik sebagai salah
satu bahan pewarna alami makanan. Anthocyanin terdapat pada semua jenis tanaman sehingga mudah dalam pengolahannya
menjadi pewarna alami makanan. Meskipun demikian produksi anthocyanin secara besar – besaran belum dilakukan.
Keywords: Anthocyanin, industry makanan, struktur anthocyanin, tanaman
Abstract
The use of synthetic dyes in the world food industry is rampant. As the development time, public awareness of the world of the
dangers that can be caused by synthetic dyes is bringing a change in the use of food coloring itself. Recent years the use of
natural dyes in dye synthesis replaces the show significant improvement. This chapter will discuss about the use of anthocyanins
and all derivatives as natural colorants in the food industry. The importance of color in attracting consumers coupled with
consumer awareness of the dangers that can be caused by synthetic dyes natural dyes made getting ogled existence. Of
anthocyanin pigments which have a variety of attractive colors make this material ogled as a natural food dye. Anthocyanins are
found in all types of plants so easily in its processing into natural food coloring. Nevertheless anthocyanin production on a large -
scale has not been done.

tentang abadi

CINTAKU BERKAWAN MERAPI
Aku masih ingat jelas hari itu. Hari dimana aku harus kehilangan seseorang yang telah membawa separuh dari hidupku. Dan kini tepat 2 tahun kepergiannya. Aku masih begitu mengenangnya. Senyumnya, tingkahnya, bahkan setiap bait ucapannya yang selalu bisa menenangkan hatiku.
Aku Metaliana Putri, akrab disapa Meta. Saat ini aku sedang menempuh pasca sarjana di salah satu perguruan tinggi swasta di kotaku. Dan dia adalah Reza Saputra, sosok yang selalu bisa membuatku nyaman saat ada disampingnya. Tapi mungkin dia lebih nyaman di tempatnya saat ini, tempat dimana Ia merasa lebih dekat dengan Tuhannya. Aku tahu persis itu.
***
21 Desember 2010
Ku lihat dia cukup sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Hari ini kampus kami akan mengirim beberapa relawan untuk membantu korban bencana meletusnya gunung merapi. Sekilas tampak keletihan di wajahnya, tapi aku tahu dia. Dia tidak akan berhenti, hingga Ia menyelesaikan tanggung jawab yang dibebankan padanya.
Sepertinya dia baru menyadari kehadiranku, Setelah segala sesuatunya selesai. Tampak ia tergesa – gesa menghampiriku. Ku serahkan sebotol minuman yang memang kusiapkan untuknya
“Sudah selesai semua Mas?” tanyaku
“Sudah kok Dik, tinggal berangkat saja” jawabnya tanpa memperhatikanku
“Mas beneran berangkat juga?” ragu – ragu aku berkata seperti itu
“Iya dong, masak ketua panitia nggak ikut berangkat?” jawabnya terlihat mantap
“Tapi Mas....” belum sempat aku meneruskan ucapanku
“Aku akan baik – baik aja kok Dik, Kamu percaya sama Aku kan?” jawabnya seolah ingin meyakinkanku.
“Iya” hanya kata itu yang terucap
Selalu saja ada penyesalan. Kenapa dulu aku begitu mempercayainya? Begitu yakin bahwa dia benar – benar akan baik – baik saja seperti apa yang dia katakan padaku. Hingga aku harus kehilangan semuanya.
Ku lirik arlojiku. Tepat pukul 10.00 kendaraan yang dia tumpangi perlahan pergi. Hanya ada lambaian tanganku yang mengiringi kepergiannya. Ku hembuskan nafasku pelan, mencoba menenangkan hatiku yang seolah tak rela akan kepergiannya. Lama aku terdiam dalam lamunanku. Hingga suara keras klakson mobil menyadarkanku.
“ Ikut yuk!” ajak Rena, sahabatku.
“ Kemana?” tanyaku
“ Jadi relawan buat gunung merapi?” ucapnya penuh makna
“Maksudnya?” tanyaku tak mengerti
“Ayo dong Meta.. mana tega aku melihatmu kehilangan kakanda tercintamu itu” jelasnya nyengir. Aku mulai mengerti maksudnya. Tapi masih ada keraguan untuk mengikutinya. Peraturan untuk menjadi relawan adalah mereka yang sudah menempuh semester akhir. Sementara aku? Semester 5 pun, belum ku selesaikan.
“Ayo, mikir apa lagi? Nanti kalo dia di ambil sama pengungsi merapi kamu nangis – nangis” ajaknya setengah mengejek.
Tanpa berpikir panjang, akupun naik ke mobil Rena.
“Tapi mampir ke rumah dulu ya! Ijin mama sama ambil baju”
“Siap tuan putri”
Kurasa dia suka memanggilku seperti itu. Sahabatku yang satu ini memang selalu tahu isi hatiku. Ku pikir hanya dia orang yang selalu siap sedia mendengar cerita bahkan tangisku saat aku bertengkar dengan Reza.
Akhirnya, izinpun ku dapat. Dengan sedikit paksaan dan rayuan, hati mama akhirnya luluh juga. Ku siapkan baju ganti juga perlengkapan yang lainnya dan yang paling penting adalah obat – obatan.
Sore itu juga, aku bersama Rena langsung berangkat menuju pos pengungsian dimana Mahasiswa dari kampus kami menjadi relawan. Bayangan untuk tetap bisa bersama Reza seketika musnah saat aku melihat situasi disana. Menyedihkan, rumah – rumah tertutup abu. Anak – anak dengan jerit tangis mereka, bahkan ibu – ibu yang kulihat masih menampakkan ketegaran mereka. Hatiku serasa luluh, tanpa terasa air mata inipun menetes.
“Dik, ngapain kamu disini?” kurasakan tangan menepuk pundakku. Ku balikkan badanku, tampak sosok yang begitu ku kenal dibalik balutan kaos relawan berwarna biru lengkap dengan masker munutup hidung dan mulutnya.
“Eh Mas, aku pingin bantuin kamu disini” jawabku sekenanya
“Tapi Dik, disini itu bahaya” suaranya terlihat panik
“Aku akan baik – baik aja kok Mas, Kamu percaya sama Aku kan?” jawabku meniru kata – katanya. Diapun tersenyum.
“Kalo gitu, Kamu bantu Adik – adiknya yang ada disini ya! Buat mereka ceria, biar punya senyum semanis senyum kamu” ucapnya dengan senyuman yang khas
“Tapi Mas, Kamu?”
“Aku mau bantuin TIM SAR nyari korban yang masih belum ditemukan” jawabnya kemudian pergi.
Aku dan Rena masuk ke pos pengungsian. Masih tampak jelas rasa takut di wajah anak – anak korban merapi ini. Ku hampiri salah satu dari mereka.
“Adik namanya siapa?” tanyaku
“Ahmad” jawabnya singkat
“Ayah ibunya mana?” tanyaku kemudian. Dia hanya diam, tampak tatapannya kosong. Kemudian ia menatapku, dia menunjuk ke arah gunung merapi yang tampak masih mengepulkan asap. Ku sadari kesalahanku menanyakan hal itu. Ku tatap Ahmad yang hanya tertunduk. Ku sadari beban yang kini ia pendam.
“Ahmad mau main?” tanyaku dengan tersenyum
Ahmad tak menjawab dan hanya menatapku. Kutarik tangannya keluar. Ku gambar kotak – kotak seperti aku kecil dulu untuk bermain engklek.
“Ahmad pernah main ini kan?” tanyaku yang hanya dibalas dengan anggukan. Aku memulai permainan itu, selalu kusunggingkan senyum di pipiku berharab hal sama akan dilakukan Ahmad. Lama kami bermain, tampak senyum mulai ku lihat di wajahnya. Sepertinya tawa kami menarik anak – anak yang lain untuk ikut bermain. Saat mereka semua bisa tertawa lepas, saat itulah ku rasa kebahagiaan di hatiku.
Tanpa ku sadari hari mulai berganti petang. Permainanpun ku hentikan. Ku ajak mereka membersihkan diri untuk sembahyang. Dari kejauhan tampak Reza sedang memperhatikanku. Ku hampiri dia.
“Makasih ya Dik” ucapnya
“Buat apa?” tanyaku
“Buat senyum mereka” ku tatap lekat – lekat sosok di depanku itu. Tampak kebahagiaan di matanya.
“Bahagia ya bisa buat orang lain bahagia?” ucapku kemudian
“Iya, ku pikir memang senyum kamu itu bisa buat orang lain bahagia dimana saja” aku menatapnya, tawa kami pun lepas. Tanpa ku sadari bahwa itu tawa terakhirku bersamanya.
Adzan berkumandang, maghrib tiba. Ku ajak anak – anak di pengungsian solat bersama. Haru biru kurasa, saat anak – anak mengucap doa untuk orang tua mereka yang tak tahu entah dimana. Tangiskupun pecah, bagaimana bisa anak sekecil mereka mampu setegar ini menghadapi cobaan hidup.
***
22 Desember 2010
Ku langkahkan kakiku menuju tenda relawan tempat Reza bermalam. Pagi ini memang terasa dingin. Ku bawa secangkir kopi yang baru kuseduh bersama Rena untuk Reza. Tampak kesibukan di tenda kecil itu, namun tak ku temui sosok yang kucari.
“Mas Reza mana wan?” tanyaku pada salah seorang yang ada disana
“Eh, anu Met.. tadi pagi – pagi dia langsung ke lokasi, soalnya TIM SAR banyak nemu korban yang tertimbun, jadi dia langsung bantu – bantu disana” jelasnya
“Oh, ya udah makasih ya Wan” ucapku seraya pergi
Ku tatap gunung merapi yang masih terus bergemuruh, yang mungkin akan kembali erupsi kapan saja. Bahkan saat Reza masih disana. Tiba – tiba rasa takut itu kembali muncul. Aku terdiam, sampai ku rasakan pegangan tangan kecil lembut yang begitu hangat. Aku tertunduk. Ku dapati Ahmad yang menggenggam tanganku erat.
“Mbak, tenang saja! Merapi nggak akan marah sama masnya mbak, masnya pasti akan baik – baik saja, masnya kan orang baik” mendengar ucapan itu, tangiskupun pecah. Ku dekap erat – erat Ahmad. Anak kecil yang telah mengajariku arti bersyukur.
Matahari mulai terik, aku terus saja menyibukkan diri dengan anak – anak di pengungsian. Namun, sepertinya matahari yang terik itu membuat anak – anak kelelahan. Satu persatu dari mereka terlihat mulai pergi untuk tidur. Siang itu memang berbeda, panas yang tidak seperti biasanya.
Setelah ku tidurkan anak – anak di pengungsian. Ku langkahkan kaki kembali ke tenda relawan. Masih seperti tadi pagi, sosok itu tak ada di tempatnya. Rasa kesal bercampur khawatir tiba – tiba kurasakan kembali. Ku hembuskan nafasku. Aku berjalan meninggalkan pos pengungsian.
Tanpa kusadari langkah kakiku sudah terlalu jauh. Hatiku kembali miris melihat akibat dari erupsi merapi yang terjadi beberapa waktu lalu. Teringat saat aku berlibur bersama Reza disini. Sawah hijau, tumbuh – tumbuhan, penduduk yang begitu ramah. Dan kini semuanya berganti dengan abu. Hanya ada abu sejauh mataku memandang.
Kembali ku dengar gemuruh keras dari merapi, aku mulai ketakutan. Baru ku sadari langkah kakiku yang sudah sangat jauh.
“Mas Reza!”
“Rena!” teriakku bergantian
Hingga kurasa pijakan kakiku mulai bergetar, rasa takutku semakin menjadi. Dan yang kurasa tiba – tiba gelap.
***
Januari 2011
Entah berapa lama aku tertidur. Yang kurasakan sakit di bagian kakiku. Ku tatap ruang itu, putih. Sampai kusadari tempat itu adalah rumah sakit. Ku tatap mama yang tidur di sofa yang ada di samping ranjang. Ku tatap wanita itu lekat – lekat, matanya tampak basah. Mungkin habis menangis, pikirku saat itu.
“Ma...” ucapku lirih
Perlahan mama membuka matanya, tampak binar – binar bahagia di matanya saat melihatku.
“Meta, udah bangun kamu sayang?” ucapnya disertai tangisan.
Dengan terburu – buru mama memanggil dokter. Setelah dokter memeriksaku, mama tak henti – hentinya memelukku. Aku masih tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
“Aku kenapa ma?” tanyaku
“Mama bahagia kamu sadar sayang, kamu udah nggak sadarkan diri 1 minggu” jelas mama dalam tangisnya. Entahlah, aku hanya bahagia ada dipeluk wanita yang begitu menyayangiku itu.
Satu minggu membosankan yang kulewati di rumah sakit, akan segera berakhir. Kurasakan kakiku yang dulu nyeri sudah mulai membaik. Mama dan Renapun tak pernah berhenti menemaniku. Hanya kurasa selalu ada yang kurang, Reza. Aku tak pernah melihatnya dari saat aku tertawa bersama di pos pengungsian dulu.
“Ren, mas Reza mana sih? Nggak pernah keliatan” tanyaku pada Rena.
Rena hanya terdiam, tertunduk yang tak ku tahu apa maksud sikapnya itu.
“Rena, kamu baik – baik saja kan? Kok diem aja?” aku kembali bertanya
“Nanti kamu juga tahu sendiri Met, mas Reza kemana” ucapnya tanpa menatapku
Ku dapati rumah yang nampak sepi, mungkin karna di tinggal beberapa hari oleh sang empunya. Ku rebahkan tubuhku di kasur yang begitu kurindukan. Aku mencoba kembali menerawang, apa yang sebenarnya terjadi.
“Ren, dari tadi kamu aku tanya nggak jawab, mas Reza kemana sih Ren?” tanyaku
“Kamu yakin mau tau Met?” jawaban itu terdengar begitu aneh. Rena beranjak, meraih tasnya, ia keluarkan sepucuk surat dari tasnya itu.
“Kamu baca Met, biar Reza sendiri yang bilang”
Ku buka kertas itu pelan. Tulisan yang tak begitu rapi, Tidak seperti tulisan Reza yang biasanya.
















Tak ku tahu pasti apa yang kurasakan saat itu. Yang ku tahu, hatiku serasa begitu sesak, hingga aku tak bisa menahannya. Ku tatap Rena yang hanya diam disampingku,
“Kenapa Ren?” tanyaku di tengah tangis yang semakin menjadi
“Reza nolongin kamu waktu kamu hampir kejatuhan pohon pas erupsi merapi kedua Met” ku dengar suaranya mulau parau
“Dimana Ren? Dia dimana?” Aku mencoba berdiri. Linu di kakiku sudah tidak ku hiraukan lagi. Ku langkahkan kakiku cepat. Aku hanya ingin bertemu Reza. Untuk terakhir kalinya.
***
Dan kini, aku kembali bersamanya. Aku tahu dia selalu tersenyum menatapku. Bahkan sampai saat ini aku tak pernah menyesali kepergiannya. Karna aku tak pernah membuat syarat untuknya, syarat untuk selalu bersamaku bahkan untuk sekedar mengingatku. Aku hanya akan melakukan yang terbaik untuk hidupku. Untuknya yang telah merelakan hidupnya untuk jiwaku.
***
Siang ini terasa berbeda, angin sepoi – sepoi yang berhembus seolah turut berusaha untuk menguatkanku. Ku tatap merapi yang tampak begitu perkasa itu.
“Kamu inget Reza ya?” suara Rena itu tiba – tiba mengagetkanku
“Nggak kok Ren, aku cuma mikir aja. Merapi ini yang udah jadi saksi perasaan yang begitu tulus dua insan manusia” ucapku tersenyum
Yang kurasakan kemudian, hanya ada dekapan Rena yang begitu hangat memelukku.